Tentang Budaya Jawa
Saya bukan pemerhati soal budaya dan tidak mempunyai latar belakang ilmu
budaya. Namun setelah semalam melihat pertunjukan seni tari tradisional di
acara Mangkunegaran Performing Art 20-21 Mei 2011, baru saya menyadari betapa
tinggi peradaban orang Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta.
Selama ini saya bukan pula seorang penikmat seni tradisional Jawa khususnya
musik gamelan dan tari. Saya lebih sebagai penggemar keindahan musik dan
lagu Barat yang ekspresif dan enerjik. Gamelan dan tari Jawa
terlalu lamban, mellow, kurang rancak, pokoknya membikin ngantuk.
Keindahan musik, lagu dan tari Barat bisa dinikmati begitu indra mata dan
telinga menangkapnya. Namun, untuk menemukan keindahan atau untuk bisa “connect”
dengan seni musik dan tari Jawa sepertinya butuh waktu, batin, dan enerji
pikiran yang lebih. Seni tari dan musik Barat adalah gambaran gelora jiwa yang
meledak-ledak, bebas merdeka , ekspresif tanpa basa-basi, Gamelan dan tari Jawa
(khususnya klasik) adalah gambaran sebaliknya: terkendali, lembut , santun
penuh tata krama. Keindahan seni gamelan dan musik Jawa tidak cukup dipahami
hanya lewat indra fisik tapi juga batin manusia . Pemahaman saya ini adalah
murni kesimpulan pribadi seorang amatir yang diambil dari (hanya) beberapa
kali menonton pertunjukan tari tradisional Jawa. Sekali pun amatir, penilaian
itu datang dari orang Jawa.
“Orang Jawa” , identitas etnis yang selama ini tidak saya sadari ,
suatu yang saya anggap “given” : sudah terberi. Apa dan bagaimana orang
Jawa? Nilai-nilai apa yang menunjukkan identitas sebagai Jawa? Apa itu budaya
Jawa? Pertanyaan-pertanyaan ini selama ini tidak pernah terbersit dalam pikiran
saya. Namun dengan menonton seni tradisional Jawa di Kraton Kasunanan dan yang
baru ini di acara Mangkunegaran Performing Art 2011 menggelitik otak saya untuk
berpikir dan berusaha mencari jawabannya. Penting tidak sih mempertahankan
identitas budaya Jawa?
Budaya atau kebudayaan berasal dari
bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan,
dan karya seni.
Berdasarkan wujudnya, kebudayaan
dapat digolongkan atas dua komponen utama: kebudayaan
material dan nonmaterial. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata,
konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang
dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan,
senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang,
seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar
langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak
yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita
rakyat, dan lagu atau tarian tradisional (wikipedia).
Adapun budaya Jawa
mempunyai beberapa ciri yang salah satunya adalah menjunjung tinggi nilai
harmoni :
Kebudayaan Jawa mengutamakan
keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Semua unsur kehidupan harus
harmonis, saling berdampingan, intinya semua harus sesuai. Segala sesuatu yang
menimbulkan ketidakcocokan harus dihindari, kalau ada hal yang dapat mengganggu
keharmonisan harus cepat dibicarakan untuk dibetulkan agar dapat kembali
harmonis dan cocok lagi.
Biasanya yang menganggu
keharmonisan adalah perilaku manusia, baik itu perilaku manusia
dengan manusia atau perilaku manusia dengan alam. Kalau menyangkut perilaku
manusia dengan alam yang membetulkan ketidakharmonisan adalah pemimpin atau
menjadi tanggungjawab pimpinan masyarakat. Yang sulit apabila keseimbangan itu
diganggu oleh perilaku manusia dengan manusia sehingga menimbulkan konflik.
Ketidakcocokan atau rasa tidak suka adalah hal yang umum, namun untuk menghindari
konflik, umumnya rasa tidak cocok itu dipendam saja (Wikipedia bahasa
Jawa).
Upaya menjaga harmonisasi ini rupanya yang membuat kebanyakan orang Jawa tidak suka konflik secara terbuka. Ciri ini -kalau memakai bahasa gaul- “gue banget”. Sepertinya tidak sampai hati (ora tekan) kalau ada rasa tidak puas, tidak cocok terus diteriakkan lugas ke orangnya apalagi kalau di depan orang banyak atau forum. Untuk menyelesaikan konflik rasanya lebih sreg kalau dibicarakan secara pribadi dulu ketimbang langsung dibuka di forum dan diketahui orang banyak. Namun cara ini ada kelemahannya, karena tidak mau berbicara terbuka, orang Jawa menjadi lebih suka kasak kusuk atau menggerudel di belakang . Akibatnya, bukan mencoba mengembalikan keseimbangan atau harmonisasi malah justru memelihara ketidakharmonisan. Falsafah menjaga harmoni ini juga terlihat dari gerak tari tradisional Jawa terutama yang merupakan karya para raja Solo dan Yogya : halus, hati-hati, luwes, penuh perhitungan, ekspresi gerak dan wajah penarinya begitu terjaga , anggun dan agung, hampir tidak ada ekspresi spontan dan meledak-ledak. Bahkan konon untuk menarikan tarian ini penarinya harus menjalani ritual atau laku batin tertentu seperti puasa atau pantang.
Ciri atau identitas lainnya dari budaya Jawa adalah keyakinan Kejawen. Kejawen (Wikipedia) adalah kepercayaan yang hidup di suku Jawa. Kejawen pada dasarnya bersumber dari kepercayaan Animisme yang dipengaruhi ajaran Hindu dan Budha. Karena itulah suku Jawa umumnya dianggap sebagai suku yang mempunyai kemampuan menjalani sinkretisme kepercayaan, semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa.
Kepercayaan Kejawen yang merupakan sinkretisme antara animisme dengan
ajaran Hindu dan Budha menggambarkan bahwa orang Jawa pada dasarnya bersifat
pluralis, terbuka, mudah menerima pengaruh budaya luar dan pandai
menyesuaikannya dengan budaya sendiri dan bahkan mengolahnya menjadi bentuk
budaya baru yang tidak kalah bahkan lebih bagus dari budaya aslinya. Contohnya
seni tari dan wayang yang berkembang di Jawa dan Bali bersumber dari
kisah Mahabarata dan Ramayana , namun jauh lebih indah dari Negara asalnya
India.
Berbicara tentang budaya Jawa, khususnya Surakarta dan Yogyakarta,
tidak bisa dilepaskan dari Kraton sebagai pusat budaya Jawa. Karya seni Jawa
baik sastra, gamelan, tari dan wayang adalah bentuk ekspresi budaya yang
dikembangkan oleh raja-raja dan seniman atau pujangga Kraton Solo dan Yogya.
Pada mulanya karya seni itu merupakan klangenan (hiburan) yang terbatas
dinikmati kalangan kraton. Dalam perkembangannya, karya seni ini kemudian
dipentaskan sebagai produksi seni pertunjukan bagi rakyat biasa.
Di Surakarta, Sunan Paku
Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang
main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat
berorientasi ke budaya istana), menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan
wayang orang, mereka bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi
dan bisa mengagumi kebesaran masa silam…..
Di Yogyakarta, dengan
restu Sultan, perkumpulan tari Krida Beksa Wirama didirikan tahun 1918 dan
sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada rakyat banyak. Upaya meneguhkan
legitimasi kekuasaan raja tetap dilakukan dengan patronase pertunjukan gamelan,
tari, dan wayang. Selama memerintah (1921-39), Sultan Hamengku Buwono VIII
mementaskan 11 lakon wayang orang. Beberapa di antaranya didukung oleh 300-400
seniman dan mengambil waktu 3-4 hari, dari jam 06:00 sampai 23:00
(http://www.heritageofjava.com/)
Perubahan seni tradisi Kraton Jawa dari sebagai bentuk ekspresi budaya dan
ritual kraton menjadi seni pertunjukan popular menjadikan seni tari dan wayang
menyatu sebagai milik orang Jawa. Seni tradisi dikembangkan dan diwariskan
turun temurun sebagai bagian dari identitas budaya Jawa.
Seni tradisional Jawa yang telah menjadi identitas yang dilakoni dan
dihidupi oleh orang Jawa selama bertahun-tahun itu saat ini mengalami erosi
akibat kuatnya pengaruh budaya Barat yang disebarkan melalui tehnologi
media seperti film dan televisi. Anak-anak muda jaman sekarang lebih
menyukai tari, lagu dan musik Barat ketimbang seni tradisional. Mereka lebih
memilih mempelajari seni musik Barat daripada belajar karya seni tradisi. Karya
seni Barat terkesan modern dan lebih bergengsi, juga lebih ekspresif,
spontan dan energik sehingga dirasa lebih pas dengan gejolak jiwa muda .
Kekhawatiran bahaya ancaman budaya asing terhadap keberlanjutan tradisi
budaya local nampaknya tidak hanya berlaku untuk budaya Jawa tapi juga tradisi
banyak suku di Indonesia. Kompas Minggu, 22 Mei 2011 dalam rubrik persona
kebetulan juga mengulas masalah ini. Dengan judul “Negeri dalam Darurat
Tradisi” rubrik ini memuat wawancara dengan Prof. Dr. Nurhayati Rahman,M.Hum
yang risau akan punahnya kebudayaan local dan seni tradisi suku Bugis : “Negeri
ini berada dalam darurat tradisi. Penelitian saya tahun 2003 memperlihatkan
para maestro seni tradisi usianya rata-rata 60-70an tahun. Kalau tak ada
transformasi pengetahuan kepada generasi muda, praktis 10 tahun mendatang seni
tradisi di Sulawesi Selatan akan habis…Kalau hal ini terjadi di semua
kebudayaan di Indonesia, kita akan menjadi bangsa yang kehilangan sukmanya.
Putus sudah yang menghubungkan kita sebagai bangsa ”.
Budaya asing yang mengancam eksistensi budaya local bukan hanya datang dari
hegemoni budaya Barat tapi juga budaya tandingannya. Kuatnya penetrasi budaya
global telah memicu perlawanan berupa menguatnya gerakan anti Barat
berikut nilai dan ideologi yang terkandung di dalamnya. Gerakan ini cenderung
ingin mengembalikan tatanan social, budaya dan politik yang menurut mereka
merupakan praktek yang paling ideal dan menjanjikan kesejahteraan.
Gerakan anti budaya Barat ini juga memperoleh dukungan kuat di Indonesia.
Sama halnya dengan budaya Barat, gerakan ini mengenalkan identitas budaya yang
berbeda dan bahkan dalam hal tertentu tidak komplemen dengan budaya Jawa dan
budaya local banyak suku di Indonesia umumnya.
Baik budaya Barat maupun budaya tandingannya ternyata berpotensi membuat
orang Jawa melupakan dan bahkan menilai rendah budaya nenek moyangnya sendiri.
Setelah menonton begitu indahnya harmonisasi antara musik gamelan, kostum dan
gerak tari tradisional Jawa tidak terbayang sedihnya kalau budaya yang
adiluhung itu dilupakan dan dimusnahkan sebagai identitas orang Jawa. Budaya
apa yang akan kita turunkan ke generasi muda suku Jawa? Apakah identitas budaya
baru itu sedemikian berharganya sampai kita tega memusnahkan kekayaan dan
keluhuran budaya ‘indigenous” kita sendiri?
Tentang hal ini, Prof. Nurhayati Rahman menyatakan ancaman kepunahan seni
tradisi di Indonesia bukan hanya karena ancaman budaya asing, namun karena “
Kita tak punya kecintaan pada diri kita, bangsa kita, Negara kita. Kita bangga
kalau bisa impor segala sesuatu, termasuk ilmu pengetahuan. Makanya tak ada
penemuan baru, karena terlalu “menurut mereka”, bukan “menurut kita”. Padahal
sumber pengetahuan kita berlimpah”.
Khusus untuk seni tradisional Jawa, saya optimis masih banyak orang Jawa
yang “sangat Jawa”. Budaya Jawa dengan pusatnya Kraton Surakarta dan
Yogyakarta, ibarat pohon mempunyai akar kuat dalam hati dan jiwa manusia Jawa.
Nilai-nilai ajaran Jawa berikut ritual tradisi tetap terus akan dilakoni
orang Jawa selama Kraton tetap menjadi pusarnya. Banyaknya sanggar seni
dan lembaga pendidikan seni di Solo dan Yogyakarta akan terus mencetak
seniman-seniman tradisi yang terpanggil untuk merawat dan mencintai
warisan leluhurnya. Buktinya dalam pertunjukan seni Mangkunegaran Performing
Art 2011 ditampilkan lakon wayang orang yang sebagian besar pelakunya anak-anak
kecil usia TK , SD dan SMP. Dan mereka menunjukkan bakat seni yang sungguh luar
biasa. Terima kasih untuk para seniman dan para guru seni yang mempunyai
dedikasi tinggi untuk mengabdi bagi seni tradisi dan yang telah berhasil
mencetak calon-calon penerus budaya Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar